tag:blogger.com,1999:blog-12121024332527875782024-02-19T23:37:13.478-08:00Dongeng-dongengHackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.comBlogger22125tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-42822637369801551862011-01-13T06:00:00.001-08:002011-01-13T06:00:06.676-08:00Numpang Bikin Iklan<div style="font-size: 8px; padding-left: 30px;"> </div><div class="moduletable"> <div style="text-align: left;"><a href="http://www.falundafa.or.id/" target="_blank"><img alt="Workshop Pengenalan Falun Dafa" border="0" class="sih2381" height="385" src="http://erabaru.net/images/banners/workshop-padang.jpg" title="Workshop Pengenalan Falun Dafa" width="360" /></a></div></div><div style="text-align: left;"><a href="http://www.erabaru.net/kesehatan/94-pengobatantiongkok/17491-sop-ayam-kelapa-ginseng-suplemen-tiongkok-kuno" target="_blank"><img alt="Supreme Cuisine" border="0" class="sih2392" height="200" src="http://erabaru.net/images/banners/supreme-cuisine-besar.jpg" title="Supreme Cuisine" width="360" /></a></div>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-15157262678291029572011-01-13T04:05:00.000-08:002011-01-13T04:05:00.065-08:00Lilya, Peri Tak Bersayap<div class="adsense-top"> <h3>Advertisement</h3><a href="http://dapurhosting.com/#a_aid=b5cc6c8f&a_bid=9bd5e358&chan=dongeng" target="_top"><img alt="" height="60" src="http://dapurhosting.com/afiliasi/accounts/default1/banners/dhinata-468x60-1.gif" title="" width="468" /></a><img alt="" height="1" src="http://dapurhosting.com/afiliasi/scripts/imp.php?a_aid=b5cc6c8f&a_bid=9bd5e358&chan=dongeng" style="border: 0pt none;" width="1" /></div><div class="title"><h1>Lilya, Peri Tak Bersayap</h1></div><a href="http://dongeng.org/dongeng/lilya-peri-tak-bersayap.html/print/" rel="nofollow" title="Print This Post"><img alt="Print This Post" class="WP-PrintIcon" src="http://dongeng.org/wp-content/plugins/wp-print/images/printer_famfamfam.gif" style="border: 0px none;" title="Print This Post" /></a> <a href="http://dongeng.org/dongeng/lilya-peri-tak-bersayap.html/print/" rel="nofollow" title="Print This Post">Print This Post</a> <div style="display: none;">VN:F [1.9.3_1094]</div><div class="ratingblock "><div class="ratingstars "><div class="ratingloaderarticle" id="article_loader_314" style="display: none; width: 240px;"><div class="loader flower " style="height: 24px;"><div class="loaderinner" style="padding-top: 2px;">please wait...</div></div></div></div><div class="ratingtext "><div id="gdr_text_a314">Rating: 8.4/<strong>10</strong> (258 votes cast)</div></div></div><div style="text-align: justify;">Pada suatu hari ada seorang peri bernama Lilya, dia adalah peri yang tidak mempunyai sayap tidak seperti peri-peri yang lain nya, dia sering diejek oleh teman-temannya karena tidak mempunyai sayap, tapi dia tak perduli apa yang dikatakan oleh teman-temannya. Peri Lilya mendengar kabar kalau Raja Duyung menyimpan sepasang sayap cantik. Lalu Peri Lilya pergi ke tempat Raja Duyung, tetapi dia hanya bertemu dengan <a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a> “hei sedang apa kalian di sini?” tanya <a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a>.<span id="more-314"></span></div><div style="text-align: justify;"><img alt="cute-fairy1" class="alignleft" height="150" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2009/11/cute-fairy1-150x150.jpg" title="cute-fairy1" width="150" />“Aku ingin tahu di mana keberadaan Raja Duyung?” tanya Peri Lilya.<br />
“Raja Duyung sedang diculik oleh brutus” kata <a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a> dengan sedihnya.<br />
“Astaga, mengapa Raja Duyung bisa diculik, Bukannya Brutus adalah pesuruh Peri Jahat? Kita harus segera menolong Raja Duyung”, kata Peri Lilya.<br />
“Aku juga ingin menolong Raja, tetapi aku tak bisa karena Raja ditawan di bawah laut yang dalam sekali”<br />
“Ya sudah aku ingin membantu mu”, kata Peri Lilya<br />
“Besok kita bertemu lagi di sini”</div><div style="text-align: justify;">Pulanglah Peri Lilya ke rumahnya, dia tinggal di dalam rumah bunga, dan dia ditemani oleh hewannya yang bernama Sifi. Pagi-pagi sekali Sifi sudah membangunkan Peri Lilya. Lalu Peri Lilya langsug pergi ke <a href="http://dongeng.org/tag/air-terjun" title="air terjun">air terjun</a>, di sana <a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a> sudah menunggu, “Ayo kita langsung mencari Raja Duyung.”, ajak <a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a>.</div><div style="text-align: justify;">Tapi Peri Lilya tidak bisa bernafas dalam air karena dia peri, “Nich makan saja” kata <a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a>.<br />
“Apa Ini?”<br />
“Ini adalah rumput laut yang bisa membuat peri bernafas dalam air bila dia memakannya.”<br />
“Baik aku akan memakannya.”</div><div style="text-align: justify;"><a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a> dan Peri Lilya langsung ke berenang dan menyelam ke laut, “Ayo kita ke tempat paranormal kita bisa tahu di mana raja duyung berada”, ajak Peri Lilya.</div><div style="text-align: justify;">Lalu mereka bertemu dengan paranormal, “nih aku beri kan saja kalian balon,dan kalian harus mengikuti kemana balon itu pergi,dan bila balon itu pecah berarti di situ rajamu ditawan.”</div><div style="text-align: justify;">“Terimakasih” mereka telah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan lalu mereka sampai di penjara dimana Raja Duyung ditawan oleh Brutus. Kebetulan saat itu Brutus yang jahat sedang pergi. Dan Peri Lilya dan <a href="http://dongeng.org/tag/putri-duyung" title="Putri Duyung">Putri Duyung</a> pun membebaskan Raja Duyung.</div><div style="text-align: justify;"><img alt="purple_pink_fairy_wings" class="alignleft size-thumbnail wp-image-316" height="150" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2009/11/purple_pink_fairy_wings-150x150.jpg" title="purple_pink_fairy_wings" width="150" />“Terimakasih kalian telah membebaskan saya dari Brutus.”<br />
“Oh sama-sama Raja”, jawab mereka berdua.</div><div style="text-align: justify;">Lalu tiba-tiba Raja Duyung memberikan sesuatu kepada Peri Lilya, dan tiba-tiba saja Peri Lilya berubah menjadi peri bersayap yang sangat cantik “aku punya sayap” Peri Lilya sangat senang mempunyai sayap.</div><div style="text-align: justify;">“Terimakasih Raja Duyung”, kata Peri Lilya.<br />
Lalu dia pulang ke rumah, “Hey teman-teman sekarang aku sudah punya sayap.”<br />
“Waw sayapmu indah sekali” kata peri yang lain akhirnya Peri Lilya bisa jalan-jalan bersama teman-temannya dengan sayap itu.</div>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-87859403923628099642011-01-13T04:03:00.001-08:002011-01-13T04:03:36.494-08:00Rumah Baru Untuk Riri“Ibu,aku ingin rumah baru”, saat itu ibunya sedang tidur siang. Ibu menatap Riri dengan heran<br />
“Ada apa Riri Sayang?”, tanya ibu.<br />
“Aku ingin rumah baru bu, rumahku sudah berlubang,lihatlah bu”.<br />
“Rumah mu masih bagus koq”, kata ibu.<br />
“Tapi aku tidak mau bu punya rumah yang sudah berlubang begini”, lanjut Riri. <br />
<div style="text-align: justify;">Dengan tersenyum dan mengerti maksud Riri, ibu menjawab, “Ayo kita cari di tepi <a href="http://dongeng.org/tag/pantai" title="pantai">pantai</a>”. Di tepi <a href="http://dongeng.org/tag/pantai" title="pantai">pantai</a> banyak sekali rumah-rumah bekas yang di tinggal kan oleh yang terdahulu, ada yang masih bagus dan ada juga yang telah hancur.<span id="more-328"></span>“Kamu ingin rumah yang seprti apa?”, tanya ibu.<br />
“Aku ingin rumah yang seperti Haro, rumahnya bagus dan berkilau bila terkena sinar matahari”, pinta Riri. Kemarin Haro, teman Riri baru saja mengganti rumah lamanya dengan rumah baru yang bagus dan berkilau jika terkena sinar matahari. Rumah Haro membuat iri banyak teman-temannya.</div><div style="text-align: justify;">“Aku juga ingin rumah yang seperti fifi rumah nya sangat luas”, pinta Riri lagi. Ibu hanya tersenyum mendengar pinta riri yang begitu banyak.<br />
“Bagaimana dengan rumah yang ini?”, kata ibu sambil menunjukkan rumah yang ditemukan.<br />
“Ya ya seperti ini, aku mau yang ini rumah sama persis dengan rumah Haro”, kata riri dengan senangnya. Lalu Riri mencoba memasukkan tubuhnya ke dalam rumah baru yang berkilau ketika terkena sinar matahari.<br />
“Hei, siapa itu enak saja masuk ke rumahku”, kata sang pemilik rumah yang bagus itu.<br />
“Maaf pak,saya tidak sengaja”, Riri meminta maaf kepada sang pemilik rumah.<br />
“Rumah bagus pasti sudah berpemilik ya bu?”, tanya riri kepada ibu nya.<br />
“Bagaimana dengan rumah yang bagus ini?”, tanya ibu sambil menunjuk ke rumah yang besar.<br />
“Ya aku ingin rumah yang ini”, sorak Riri. Lalu Riri mencoba memasukan tubuhnya.<br />
“Terlalu besar untukku bu”, kata riri sedih.<br />
“Bagaimana dengan yang ini nak?”, tanya ibu.<br />
“Rumah ini mirip dengan rumah Fifi”, kata riri senang lalu ia mencoba memasukan tubuhnya.<br />
“Lihat bu, ada lubang di belakang rumah ini”, keluh riri penuh kecewa. Lalu ia melihat rumah yang berwarna kuning yang bagus.<br />
“Bu aku mau yang ini”, pinta Riri. Riri pun memasukkan tubuhnya ke rumah baru temuannya.<br />
“Di dalam ini begitu nyaman, tidak kepanasan, tidak kedinginan.”</div><div style="text-align: justify;">Lalu tiba-tiba ibu tertawa menggelogar. “kenapa ibu tertawa?”, tanya Riri dengan heran. Ibu masih saja tertawa tak henti.<br />
“Itukan rumahmu yang dulu,lihat ada lubang kecil di atas rumahmu.”<br />
“Memang ya bu rumah kita memang paling nyaman ya bu.”, jawab Riri sambil tersipu malu.</div>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-56462196740315435852011-01-13T04:02:00.001-08:002011-01-13T04:02:57.446-08:00Seekor Anak SingaAlkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.<span id="more-304"></span>Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.<br />
Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.<br />
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.<br />
“Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar. tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah <a href="http://dongeng.org/tag/saudara" title="saudara">saudara</a> sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.<br />
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah, “Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!”<br />
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.<br />
Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!<br />
Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, “Emmbiiik!”<br />
Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.<br />
Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!<br />
Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?<br />
Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.<br />
Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat.<br />
Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada <a href="http://dongeng.org/dongeng/seekor-anak-singa.html" title="seekor anak singa">seekor anak singa</a>.<br />
Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata, “Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku takkan memangsa anak singa!<br />
Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,<br />
“Jangan bunuh aku, ammpuun!”<br />
“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”<br />
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, “Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”<br />
Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.<br />
Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri.<br />
Lalu membandingkan dengan singa dewasa.<br />
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”<br />
“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.<br />
“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”<br />
“Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.<br />
Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu.<br />
Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-91099056497985264022011-01-13T04:01:00.002-08:002011-01-13T04:01:53.927-08:00Ratu Aji Bidara Putih<div class="post"> Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.<br />
</div>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-27435792818548762062011-01-13T04:01:00.000-08:002011-01-13T04:01:07.402-08:00Aryo Menak dan Tujuh BidadariAryo Menak adalah seorang pemuda yang sangat gemar mengembara ke tengah hutan. Pada suatu bulan purnama, ketika dia beristirahat dibawah pohon di dekat sebuah danau, dilihatnya cahaya sangat terang berpendar di pinggir danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati sumber cahaya tadi. Alangkah terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> sedang mandi dan bersenda gurau disana.<span id="more-192"></span> <br />
Ia sangat terpesona oleh <a href="http://dongeng.org/tag/kecantikan" title="kecantikan">kecantikan</a> mereka. Timbul keinginannya untuk memiliki seorang diantara mereka. Iapun mengendap-endap, kemudian dengan secepatnya diambil sebuah selendang dari <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a>-<a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> itu.<br />
Tak lama kemudian, para <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> itu selesai mandi dan bergegas mengambil pakaiannya masing-masing. Merekapun terbang ke istananya di sorga kecuali yang termuda. <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="Bidadari">Bidadari</a> itu tidak dapat terbang tanpa selendangnya. Iapun sedih dan menangis. <br />
Aryo Menak kemudian mendekatinya. Ia berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ditanyakannya apa yang terjadi pada <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> itu. Lalu ia mengatakan: “Ini mungkin sudah kehendak para dewa agar <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> berdiam di bumi untuk sementara waktu. Janganlah bersedih. Saya akan berjanji menemani dan menghiburmu.”<br />
<a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="Bidadari">Bidadari</a> itu rupanya percaya dengan omongan Arya Menak. Iapun tidak menolak ketika Arya Menak menawarkan padanya untuk tinggal di rumah Arya Menak. Selanjutnya Arya Menak melamarnya. <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="Bidadari">Bidadari</a> itupun menerimanya.<br />
Dikisahkan, bahwa <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> itu masih memiliki kekuatan gaib. Ia dapat memasak sepanci nasi hanya dari sebutir beras. Syaratnya adalah Arya Menak tidak boleh menyaksikannya.<br />
Pada suatu hari, Arya Menak menjadi penasaran. Beras di lumbungnya tidak pernah berkurang meskipun <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> memasaknya setiap hari. Ketika isterinya tidak ada dirumah, ia mengendap ke dapur dan membuka panci tempat isterinya memasak nasi. Tindakan ini membuat kekuatan gaib isterinya sirna.<br />
<a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="Bidadari">Bidadari</a> sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia harus memasak beras dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras itupun makin berkurang. Pada suatu hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan. Alangkah terkejutnya <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> itu ketika dilihatnya tersembul selendangnya yang hilang. Begitu melihat selendang tersebut, timbul keinginannya untuk pulang ke sorga. Pada suatu malam, ia mengenakan kembali semua pakaian sorganya. Tubuhnya menjadi ringan, iapun dapat terbang ke istananya.<br />
Arya Menak menjadi sangat sedih. Karena keingintahuannya, <a href="http://dongeng.org/tag/bidadari" title="bidadari">bidadari</a> meninggalkannya. Sejak saat itu ia dan anak keturunannya berpantang untuk memakan nasiHackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-80704323541982419152010-12-04T09:53:00.001-08:002010-12-04T09:53:54.350-08:00Batu Golog<b>Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain.<span id="more-198"></span></b> <br />
<b>Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.</b><br />
<b>Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.</b><br />
<b>Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”</b><br />
<b>Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.</b><br />
<b>Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.</b><br />
<b>Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.</b><br />
<b>Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.</b><br />
<b>(Cerita ini diadaptasi secara bebas dari I Nengah Kayun dan kawan-kawan, “Batu Goloq,” <a href="http://dongeng.org/category/cerita-rakyat" title="Cerita Rakyat">Cerita Rakyat</a> <a href="http://dongeng.org/tag/nusa-tenggara-barat" title="Nusa Tenggara Barat">Nusa Tenggara Barat</a>, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, hal. 21-25). </b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-3033461392431053852010-12-04T09:52:00.001-08:002010-12-04T09:52:36.874-08:00Legenda pesut mahakam<b>yang terkenal yaitu Sungai Mahakam. Di sungai tersebut terdapat ikan yang sangat khas bentuknya yaitu Pesut Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) adalah lumba-lumba air tawar Indonesia. Tubuh tegap, sirip punggung kecil & segitiga serta kepala bulat/tumpul dgn mata yg kecil. Tergolong lumba-lumba kecil, dgn panjang dewasa 2,0 – 2,75 m, bayi pesut 1,0 m. Pesut tdk terlalu aktif, terkadang melompat rendah). Sebenarnya pesut bukanlah ikan tetapi mamalia air sebagaimana Lumba-lumba dan Paus. Menurut penduduk sekitar sungai tersebut Pesut bukanlah sembarang ikan tetapi adalah jelmaan manusia.<span id="more-111"></span></b> <br />
<b>Ceritanya pada jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen, penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian.</b><br />
<b>Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang <a href="http://dongeng.org/tag/bijaksana" title="bijaksana">bijaksana</a>, sehingga mereka hidup dengan bahagia selama bertahun-tahun.</b><br />
<b>Pada suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.</b><br />
<b>Suatu hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.</b><br />
<b>Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.</b><br />
<b>Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.</b><br />
<b>Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.</b><br />
<b>Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.<br />
“Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!” perintah sang ibu, “Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!”</b><br />
<b>“Tapi, Bu…” jawab anak lelakinya, “Untuk apa kayu sebanyak itu…? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi…”</b><br />
<b>“Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian <a href="http://dongeng.org/tag/pemalas" title="pemalas">pemalas</a>! Ayo, berangkat sekarang juga!!” kata si ibu tiri dengan marahnya.</b><br />
<b>Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua. Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa lah mereka harus bermalam di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.</b><br />
<b>Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka.<br />
“Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!” tanya kakek itu kepada mereka. Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.</b><br />
<b>“Kalau begitu…, pergilah kalian ke arah sana.” kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, “Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!”</b><br />
<b>Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi, disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak bergantungan di pohonnya. Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali. Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu tiri.</b><br />
<b>Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong melompong.</b><br />
<b>Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu. Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.</b><br />
<b>Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orangtuanya. Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka.</b><br />
<b>Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari yang ketiga, sampailah mereka di suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api mengepul di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.</b><br />
<b>Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.</b><br />
<b>“Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?” tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.</b><br />
<b>“Maaf, Tok.” kata si anak lelaki, “Kami ini sedang mencari kedua urangtua kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?”</b><br />
<b>Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.<br />
“Hmmm…, beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini.” kata si kakek kemudian, “Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?”</b><br />
<b>“Tak salah lagi, Tok.” kata anak lelaki itu dengan gembira, “Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?”</b><br />
<b>“Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana.”</b><br />
<b>“Terima kasih, Tok…” kata si anak sulung tersebut, “Tapi…, bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?”</b><br />
<b>“Datok ni dah tuha… mana kuat lagi untuk mendayung perahu!” kata si kakek sambil terkekeh, “Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu.”</b><br />
<b>Kakak beradik itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.</b><br />
<b>Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa itu memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.</b><br />
<b>Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Di dalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya.</b><br />
<b>Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.</b><br />
<b>Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang di kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.</b><br />
<b>Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.</b><br />
<b>Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya.</b><br />
<b>Oleh masyarakat Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.</b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-77635866313840708032010-12-04T09:49:00.000-08:002010-12-04T09:49:40.690-08:00Legenda Telaga Bidadari<b>Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.<span id="more-394"></span></b> <br />
<div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.</b></div><div style="text-align: justify;"><b><a href="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2010/02/telaga-bidadari.jpg"><img alt="Legenda Telaga Bidadari" class="alignleft size-thumbnail wp-image-396" height="150" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2010/02/telaga-bidadari-150x150.jpg" title="telaga-bidadari" width="150" /></a>Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan <a href="http://dongeng.org/tag/kecantikan" title="kecantikan">kecantikan</a>, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi <a href="http://dongeng.org/tag/kecantikan" title="kecantikan">kecantikan</a> ibunya.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.<br />
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.<br />
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi <a href="http://dongeng.org/tag/kalimantan-selatan" title="Kalimantan Selatan">Kalimantan Selatan</a>.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.</b></div><div style="display: none;">VN:F [1.9.3_1094]</div>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-88116683014448580262010-12-04T09:48:00.001-08:002010-12-04T09:48:24.337-08:00Asal Usul Candi Prambanan<b>Pada jaman dahulu kala di Pulau Jawa terutama di daerah Prambanan berdiri 2 buah kerajaan Hindu yaitu Kerajaan Pengging dan Kraton Boko. Kerajaan Pengging adalah kerjaan yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo dan mempunyai seorang putra laki-laki yang bernama Raden Bandung Bondowoso.<span id="more-30"></span></b><br />
<b>Kraton Boko berada pada wilayah kekuasaan kerajaan Pengging yang diperintah oleh seorang raja yang kejam dan angkara murka yang tidak berwujud manusia biasa tetapi berwujud raksasa besar yang suka makan daging manusia, yang bernama Prabu Boko. Akan tetapi Prabu Boko memiliki seorang putri yang cantik dan jelita bak bidadari dari khayangan yang bernama Putri Loro Jonggrang.</b><br />
<b>Prabu Boko juga memiliki patih yang berwujud raksasa bernama Patih Gupolo. Prabu Boko ingin memberontak dan ingin menguasai kerajaan Pengging, maka ia dan Patih Gupolo mengumpulkan kekuatan dan mengumpulkan bekal dengan cara melatih para pemuda menjadi prajurit dan meminta harta benda rakyat untuk bekal.</b><br />
<b>Setelah persiapan dirasa cukup, maka berangkatlah Prabu Boko dan prajurit menuju kerajaan Pengging untuk memberontak. Maka terjadilah perang di Kerajaan Pengging antara para prajurit peng Pengging dan para prajurit Kraton Boko.</b><br />
<b>Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak dan rakyat Pengging menjadi menderita karena perang, banyak rakyat kelaparan dan kemiskinan.</b><br />
<b>Mengetahui rakyatnya menderita dan sudah banyak korban prajurit yang meninggal, maka Prabu Damar Moyo mengutus anaknya Raden Bandung Bondowoso maju perang melawan Prabu Boko dan terjadilan perang yang sangat sengit antara Raden Bandung Bondowoso melawan Prabu Boko. Karena kesaktian Raden Bandung Bondowoso maka Prabu Boko dapat dibinasakan. Melihat rajanya tewas, maka Patih Gupolo melarikan diri. Raden Bandung Bondowoso mengejar Patih Gupolo ke Kraton Boko.</b><br />
<b>Setelah sampai di Kraton Boko, Patih Gupolo melaporkan pada Puteri Loro Jonggrang bahwa ayahandanya telah tewas di medan perang, dibunuh oleh kesatria Pengging yang bernama Raden Bandung Bondowoso. Maka menangislah Puteri Loro Jonggrang, sedih hatinya karena ayahnya telah tewas di medan perang.</b><br />
<div class="wp-caption alignleft" id="attachment_34" style="width: 160px;"><b><img alt="Patung Loro Jonggrang" class="size-thumbnail wp-image-34" height="150" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2009/04/statue-of-durga-loro-jonggrang-1-150x150.jpg" title="statue-of-durga-loro-jonggrang-1" width="150" /></b><div class="wp-caption-text"><b>Patung Loro Jonggrang</b></div></div><b>Maka sampailah Raden Bandung Bondowoso di Kraton Boko dan terkejutlah Raden Bandung Bondowoso melihat Puteri Loro Jonggrang yang cantik jelita, maka ia ingin mempersunting Puteri Loro Jonggrang sebagai istrinya.</b><br />
<b>Akan tetapi Puteri Loro Jonggrang tidak mau dipersunting Raden Bandung Bondowoso karena ia telah membunuh ayahnya. Untuk menolak pinangan Raden Bandung Bondowoso, maka Puteri Loro Jonggrang mempunyai siasat. Puteri Loro Jonggrang manu dipersunting Raden Bandung Bondowoso asalkan ia sanggup mengabulkan dua permintaan Puteri Loro Jonggrang. Permintaan yang pertama, Puteri Loro Jonggrang minta dibuatkan sumur Jalatunda sedangkan permintaan kedua, Puteri Loro Jonggrang minta dibuatkan 1000 candi dalam waktu satu malam.</b><br />
<b>Raden Bandung Bondowoso menyanggupi kedua permintaan puteri tersebut. Segeralah Raden Bandung Bondowoso membuat sumur Jalatunda dan setelah jadi ia memanggil Puteri Loro Jonggrang untuk melihat sumur itu.</b><br />
<b>Kemudian Puteri Loro Jonggrang menyuruh Raden Bandung Bondowoso masuk ke dalam sumur. Setelah Raden Bandung Bondowoso masuk ke dalam sumur, Puteri Loro Jonggrang memerintah Patih Gupolo menimbun sumur dan Raden Bandung Bondowoso pun tertimbun batu di dalam sumur. Puteri Loro Jonggrang dan Patih Gupolo menganggap bahwa Raden Bandung Bondowoso telah mati di sumur akan tetapi di dalam sumur ternyata Raden Bandung Bondowoso belum mati maka ia bersemedi untuk keluar dari sumur dan Raden Bandung Bondowoso keluar dari sumur dengan selamat.</b><br />
<b>Raden Bandung Bondowoso menemui Puteri Loro Jonggrang dengan marah sekali karena telah menimbun dirinya dalam sumur. Namun karena <a href="http://dongeng.org/tag/kecantikan" title="kecantikan">kecantikan</a> Puteri Loro Jonggrang kemarahan Raden Bandung Bondowoso pun mereda.</b><br />
<b>Kemudian Puteri Loro Jonggrang menagih janji permintaan yang kedua kepada Raden Bandung Bondowoso untuk membuatkan 1000 candi dalam waktu 1 malam. Maka segeralah Raden Bandung Bondowoso memerintahkan para jin untuk membuat candi akan tetapi pihak Puteri Loro Jonggrang ingin menggagalkan usaha Raden Bandung Bondowoso membuat candi. Ia memerintahkan para gadis menumbuk dan membakar jerami supaya kelihatan terang untuk pertanda pagi sudah tiba dan ayam pun berkokok bergantian.</b><br />
<b>Mendengar ayam berkokok dan orang menumbuk padi serta di timur kelihatan terang maka para jin berhenti membuat candi. Jin melaporkan pada Raden Bandung Bondowoso bahwa jin tidak dapat meneruskan membuat candi yang kurang satu karena pagi sudah tiba. Akan tetapi firasat Raden Bandung Bondowoso pagi belum tiba. Maka dipanggillah Puteri Loro Jonggrang disuruh menghitung candi dan ternyata jumlahya 999 candi, tinggal 1 candi yang belum jadi.</b><br />
<b>Maka Puteri Loro Jonggrang tidak mau dipersunting Raden Bandung Bondowoso. Karena ditipu dan dipermainkan maka Raden Bandung Bondowoso murka sekali dan mengutuk Puteri Loro Jonggrang “Hai Loro Jonggrang candi kurang satu dan genapnya seribu engkaulah orangnya”. Maka aneh bin ajaib Puteri Loro Jonggrang berubah ujud menjadi arca patung batu.</b><br />
<b>Dan sampai sekarang arca patung Loro Jonggrang masih ada di <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/candi-prambanan.html" title="Candi Prambanan">Candi Prambanan</a> dan Raden Bandung Bondowoso mengutuk para gadis di sekitar Prambanan menjadi perawan kasep (perawan tua) karena telah membantu Puteri Loro Jonggrang.</b><br />
<b>Dan menurut kepercayaan orang dahulu bahwa pacaran di <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/candi-prambanan.html" title="candi Prambanan">candi Prambanan</a> akan putus cintanya.</b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-13045511084213204982010-12-04T09:43:00.001-08:002010-12-04T09:43:30.995-08:00Dongeng Motivasi<div class="adsense-category"> <h3><b>Advertisement</b></h3><b><a href="http://dapurhosting.com/#a_aid=b5cc6c8f&a_bid=9bd5e358&chan=dongeng" target="_top"><img alt="" height="60" src="http://dapurhosting.com/afiliasi/accounts/default1/banners/dhinata-468x60-1.gif" title="" width="468" /></a><img alt="" height="1" src="http://dapurhosting.com/afiliasi/scripts/imp.php?a_aid=b5cc6c8f&a_bid=9bd5e358&chan=dongeng" style="border: 0pt none;" width="1" /></b></div><div class="title"><h1><b> » Dongeng Motivasi</b></h1></div><ul class="recent"><li id="post-308"> <div class="a-box"> <b><a class="a-title" href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/pohon-apel.html" title="Pohon Apel">Pohon Apel</a></b> <div class="info"> <b><span class="valign">By <a href="http://dongeng.org/author/admin/" title="Posts by Pendongeng">Pendongeng</a> on October 25th, 2009 | <a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/pohon-apel.html#comments" title="Comment on Pohon Apel">13 Comments</a><img alt="13 Comments Comments" border="0" class="valign-img" src="http://dongeng.org/wp-content/themes/one-theme/img/icons/comments.gif" /> </span></b> </div><div class="news-img"> <b><a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/pohon-apel.html" style="border: 0px none; padding: 0px;"> <img alt="Pohon Apel" height="116" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2009/10/Apple_Tree-300x251.png" style="border: 0px none; margin: 0px; padding: 0px;" title="Pohon Apel" width="116" /> </a></b> </div><div class="post"> <b>Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.</b><br />
</div></div></li>
<li id="post-283"> <div class="a-box"> <b><a class="a-title" href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/ayam-dan-sapi.html" title="Ayam dan Sapi">Ayam dan Sapi</a></b> <div class="info"> <b><span class="valign">By <a href="http://dongeng.org/author/admin/" title="Posts by Pendongeng">Pendongeng</a> on October 19th, 2009 | <a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/ayam-dan-sapi.html#comments" title="Comment on Ayam dan Sapi">5 Comments</a><img alt="5 Comments Comments" border="0" class="valign-img" src="http://dongeng.org/wp-content/themes/one-theme/img/icons/comments.gif" /> </span></b> </div><div class="news-img"> <b><a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/ayam-dan-sapi.html" style="border: 0px none; padding: 0px;"> <img alt="Ayam dan Sapi" height="116" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2009/10/22452-bigthumbnail.jpg" style="border: 0px none; margin: 0px; padding: 0px;" title="Ayam dan Sapi" width="116" /> </a></b> </div><div class="post"> <b>“Kenapa sih”, kata seorang kaya pada pelayannya, “Orang-orang mengataiku pelit. Padahal semua orang kan tahu kalau aku wafat nanti, aku akan memberikan semua yang aku punya pada yayasan sosial dan panti asuhan?” “Akan saya ceritakan fabel tentang ayam dan sapi,” jawab pelayannya.</b><br />
</div></div></li>
<li id="post-287"> <div class="a-box"> <b><a class="a-title" href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/wortel-telur-dan-kopi.html" title="Wortel, Telur, Dan Kopi">Wortel, Telur, Dan Kopi</a></b> <div class="info"> <b><span class="valign">By <a href="http://dongeng.org/author/admin/" title="Posts by Pendongeng">Pendongeng</a> on October 19th, 2009 | <a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/wortel-telur-dan-kopi.html#comments" title="Comment on Wortel, Telur, Dan Kopi">4 Comments</a><img alt="4 Comments Comments" border="0" class="valign-img" src="http://dongeng.org/wp-content/themes/one-theme/img/icons/comments.gif" /> </span></b> </div><div class="news-img"> <b><a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/wortel-telur-dan-kopi.html" style="border: 0px none; padding: 0px;"> <img alt="Wortel, Telur, Dan Kopi" height="116" src="http://dongeng.org/category/dongeng-motivasi" style="border: 0px none; margin: 0px; padding: 0px;" title="Wortel, Telur, Dan Kopi" width="116" /> </a></b> </div><div class="post"> <b>Seorang anak perempuan mengeluh pada sang ayah tentang kehidupannya yang sangat berat. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan bermaksud untuk menyerah. Ia merasa capai untuk terus berjuang dan berjuang. Bila satu persoalan telah teratasi, maka persoalan yang lain muncul. Lalu, ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama dimasukkannya beberapa wortel Ke dalam panci kedua dimasukkannya beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji-biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga panci itu beberapa saat tanpa berkata sepatah kata. </b><br />
</div></div></li>
<li id="post-284"> <div class="a-box"> <b><a class="a-title" href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/anak-kerang.html" title="Anak Kerang">Anak Kerang</a></b> <div class="info"> <b><span class="valign">By <a href="http://dongeng.org/author/admin/" title="Posts by Pendongeng">Pendongeng</a> on October 19th, 2009 | <a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/anak-kerang.html#comments" title="Comment on Anak Kerang">1 Comment</a><img alt="1 Comment Comments" border="0" class="valign-img" src="http://dongeng.org/wp-content/themes/one-theme/img/icons/comments.gif" /> </span></b> </div><div class="news-img"> <b><a href="http://dongeng.org/dongeng-motivasi/anak-kerang.html" style="border: 0px none; padding: 0px;"> <img alt="Anak Kerang" height="116" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2009/10/mutiara.jpg" style="border: 0px none; margin: 0px; padding: 0px;" title="Anak Kerang" width="116" /> </a></b> </div><div class="post"> <b>Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. “Anakku,” kata sang ibu sambil bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu.” </b></div></div></li>
</ul>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-28636699956349807412010-12-04T09:41:00.001-08:002010-12-04T09:41:17.719-08:00Asal-usul Telaga Biru<b>Dibelahan bumi Halmahera Utara (<a href="http://dongeng.org/tag/maluku-utara" title="Maluku Utara">Maluku Utara</a>) tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga.<span id="more-138"></span></b> <br />
<b>Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena ini terjadi?</b><br />
<b>Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.</b><br />
<b>Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).</b><br />
<b>Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.</b><br />
<b>Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.</b><br />
<b>Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak <a href="http://dongeng.org/tag/saudara" title="saudara">saudara</a> dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.</b><br />
<b>Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.</b><br />
<b>Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.</b><br />
<b>Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.</b><br />
<b>Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.</b><br />
<b>Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.</b><br />
<b>Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.</b><br />
<b>Telaga biru kala itu selalu tampak bersih. Airnya sejernih kristal berwarna kebiruan. Setiap dedaunan yang jatuh di atasnya tidak akan tenggelam karena seolah terhisap untuk dibersihkan oleh bebatuan yang ada di tepian telaga.</b><br />
<b>Sampai saat ini mitos asal-mula telaga Biru masih terus terjaga di masyarakat. Pasangan muda-mudi dari Galela dan Tobelo ada yang datang ke telaga ini untuk saling mengikat janji. Sebagai tanda ikatan mereka akan mengambil air dengan daun Cingacinga dan lalu meminumnya bersama. Air yang masih tersisa biasanya akan dipakai untuk membasuh kaki dan wajah. Maknanya adalah supaya jangan ada lagi air mata yang mengalir dari setiap ikatan janji dan hubungan.</b><br />
<b>Penduduk dusun Lisawa mula-mula kini telah tiada dan hanya menyisakan telaga Biru. Sayang kondisi telaga Biru saat ini kian merana akibat ditebangnya pepohonan di sekitar telaga. Hal ini semakin diperparah dengan hilangnya bebatuan di sekitar telaga yang telah berganti dengan tanggul beton. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan telaga ini sebagai tempat MCK sehingga banyak sampah plastik yang kini sangat merusak pemandangan. Belum lagi batang-batang pohon yang sengaja ditebang tidak pernah diangkat tetapi dibiarkan membusuk didalam air telaga.</b><br />
<b>Telaga Biru kini kembali menangis dan bertanya adakah orang yang dapat bertahan jika di dalam matanya kemasukan butiran pasir atau terkena pedihnya air sabun. Jika masih ada maka jangan wariskan derita ini pada anak cucumu. Ingat dan camkan bahwa negeri ini adalah pinjaman dari anak cucu kita!</b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-51785283192091490962010-12-04T09:40:00.000-08:002010-12-04T09:40:26.720-08:00Asal-usul Kota Banjarmasin<b>Pada zaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Konon, Sekar Sungsang seorang penganut Syiwa. la mendirikan candi dan lingga terbesar di <a href="http://dongeng.org/tag/kalimantan-selatan" title="Kalimantan Selatan">Kalimantan Selatan</a>. Candi yang didirikan itu bernama Candi Laras. Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja Sukarama mengamanatkan agar cucunya, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera, kelak menggantikan tahta, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a><span id="more-386"></span></b> Mangkubumi-lah yang naik takhta. <br />
<div style="text-align: justify;"><b>Kerajaan tidak hentinya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan. Konon, siapa pun menduduki takhta akan merasa tidak aman dari rongrongan. <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam suatu usaha perebutan kekuasaan. Sejak itu, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung menjadi penguasa kerajaan.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Pewaris kerajaan yang sah, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara Daha, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Patih Masih mengetahui bahwa <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Dengan diangkatnya <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a><a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung di Nagara Daha.</b> Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada </div><div style="text-align: justify;"><b><a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.</b></div><div style="text-align: justify;"><b><a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan, asalkan <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a><a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.</b> Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji </div><div style="text-align: justify;"><b>Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.</b></div><div style="text-align: justify;"><b><a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung dan <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah pihak. Kedua <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="pangeran">pangeran</a> itu memakai pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.</b></div><div style="text-align: justify;"><b><a href="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2010/02/pangeran-samudra.jpg"><img alt="Pangeran Samudera Asal Mula Nama Kota Banjarmasin" class="alignleft size-medium wp-image-390" height="300" src="http://dongeng.org/wp-content/uploads/2010/02/pangeran-samudra-267x300.jpg" title="pangeran-samudra" width="267" /></a>Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera. Sebaliknya, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Akhirnya, luluh juga hati <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung. Kesadarannya muncul. la mampu menatap <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Dengan hati tulus, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a><a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera. Akan tetapi, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a><a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.</b> Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. </div><div style="text-align: justify;"><b>Sebagai seorang raja yang beragama Islam, <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas <a href="http://dongeng.org/tag/pangeran" title="Pangeran">Pangeran</a> Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.</b></div>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-67609898877477297502010-12-04T06:11:00.001-08:002010-12-04T06:11:40.070-08:00Asal nam kota Surabaya<b>Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun. </b><br />
<b>Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="raksasa">raksasa</a> melewati tempat tinggal mereka. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> itu mendengar doa suami istri itu. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> itu kemudian memberi mereka biji mentimun.<span id="more-248"></span></b><br />
<b>“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. “Terima <a href="http://dongeng.org/tag/kasih" title="kasih">kasih</a>, <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.</b><br />
<b>Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.</b><br />
<b>Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.</b><br />
<b>Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="raksasa">raksasa</a> datang kembali. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.</b><br />
<b>Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.</b><br />
<b>Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.</b><br />
<b><a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> segera berlari mengejar Timun Mas. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> terpaksa berenang dengan susah payah.</b><br />
<b>Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="raksasa">raksasa</a>. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.</b><br />
<b>Tapi <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a></b> tertidur.<br />
<b>Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> terbangun dari tidurnya. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.</b><br />
<b>Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima <a href="http://dongeng.org/tag/kasih" title="Kasih">Kasih</a>, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.</b><br />
<b>Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi. </b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-75989679325610718012010-12-04T06:08:00.001-08:002010-12-04T06:08:05.839-08:00Timung Emas<b>Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun. </b><br />
<b>Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="raksasa">raksasa</a> melewati tempat tinggal mereka. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> itu mendengar doa suami istri itu. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> itu kemudian memberi mereka biji mentimun.<span id="more-248"></span></b><br />
<b>“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. “Terima <a href="http://dongeng.org/tag/kasih" title="kasih">kasih</a>, <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.</b><br />
<b>Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.</b><br />
<b>Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.</b><br />
<b>Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="raksasa">raksasa</a> datang kembali. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.</b><br />
<b>Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.</b><br />
<b>Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.</b><br />
<b><a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> segera berlari mengejar Timun Mas. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> terpaksa berenang dengan susah payah.</b><br />
<b>Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="raksasa">raksasa</a>. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a>. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.</b><br />
<b>Tapi <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a></b> tertidur.<br />
<b>Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> terbangun dari tidurnya. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. <a href="http://dongeng.org/tag/raksasa" title="Raksasa">Raksasa</a> panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.</b><br />
<b>Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima <a href="http://dongeng.org/tag/kasih" title="Kasih">Kasih</a>, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.</b><br />
<b>Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi. </b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-35774591984003498652010-12-04T06:05:00.000-08:002010-12-04T06:05:19.752-08:00Kutukan raja Pulau Mintin<b>Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir, Kalimantan Tengah. Kerajaan itu sangat terkenal akan kearifan rajanya. Akibatnya, kerajaan itu menjadi wilayah yang tenteram dan makmur.<span id="more-166"></span></b> <br />
<b>Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi murung dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan baik. Pada saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna menanggulangi situasi itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.</b><br />
<b>Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak kembarnya yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak sepeninggal sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul persoalan mendasar baru.</b><br />
<b>Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif seperti senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak positif seperti pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.</b><br />
<b>Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka si Buaya pun marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi rupaya naga ini tidak mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi perkelahian. Prajurit kerajaan menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan sebagian memihak pada Buaya. Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.</b><br />
<b>Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan kapalnya untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera kembarnya telah saling berperang. Dengan berang ia pun berkata,”kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku. Dengan peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku. Buaya jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit, maka engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal di sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi Cendawan Bantilung.”</b><br />
<b>Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam sekejap kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.</b><br />
<b>Sumber: <a href="http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Budaya_Bangsa/Cerita_Rakyat/Kalteng_default.htm">seasite.niu.edu</a> (Diadaptasi secara bebas dari Lambertus Elbaar, “<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/kutukan-raja-pulau-mintin.html" title="Kutukan Raja Pulau Mintin">Kutukan Raja Pulau Mintin</a>,” <a href="http://dongeng.org/category/cerita-rakyat" title="Cerita Rakyat">Cerita Rakyat</a> Kalimantan Tengah,</b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-74079270081191237032010-12-04T06:02:00.001-08:002010-12-04T06:02:11.001-08:00Si Rusa dan Si Kulomang<b>Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok rusa. Mereka sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka selain merumput, adalah menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.<span id="more-163"></span></b> <br />
<b>Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah. Disana hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal sebagai binatang yang cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si Rusa mendatangi si Kulomang. Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari hingga sampai di tanjung ke sebelas. Taruhannya adalah pantai tempat tinggal sang siput laut.</b><br />
<b>Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si Kulomang. Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga memanggul cangkang. Cangkang itu biasanya lebih besar dari badannya. Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh karena cangkang itu adalah rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan agar tidak hanyut di waktu air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari terik matahari.</b><br />
<b>Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya untuk menyaksikan pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah menyiapkan sepuluh teman-temannya. Setiap ekor dari temannya ditempatkan mulai dari tanjung ke dua hingga tanjung ke sebelas. Dia sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan. Diperintahkannya agar teman-temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.</b><br />
<b>Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya mendahului si Kulomang. Selang beberapa jam su rusa sudah sampai di tanjung kedua. Nafasnya terengah-engah. Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang mungkin hanya mencapai jarak beberapa meter saja. Dengan sombongnya ia berteriak-teriak, “Kulomang, sekarang kau ada di mana?” Temannya si Kulomang pun menjawab, “aku ada tepat di belakangmu.” Betapa terkejutnya si Rusa, ia tidak jadi beristirahat melainkan lari tunggang langgang.</b><br />
<b>Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki tanjung ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan mati. Dengan demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi juga memperdayai si Rusa yang congkak itu. (Aneke Sumarauw, “<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-rusa-dan-si-kulomang.html" title="Si Rusa dan Si Kulomang">Si Rusa dan Si Kulomang</a>,” <a href="http://dongeng.org/category/cerita-rakyat" title="Cerita Rakyat">Cerita Rakyat</a> dari Maluku.</b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-25876762933041582892010-12-04T05:55:00.001-08:002010-12-04T05:55:50.543-08:00Si Pitung Dari Betawi<b>Betawi Oktober 1893. Rakyat Betawi di kampung-kampung tengah berkabung. Dari mulut ke mulut mereka mendengar <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a> atau Bang Pitung meninggal dunia, setelah tertembak dalam pertarungan tidak seimbang dengan kompeni. Bagi warga Betawi, kematian <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a><span id="more-241"></span></b> merupakan duka mendalam. Karena ia membela rakyat kecil yang mengalami penindasan pada masa penjajahan Belanda. Sebaliknya, bagi kompeni sebutan untuk pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, dia dilukiskan sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi. <br />
<b>Jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, ini telah membuat repot pemerintah kolonial di Batavia, termasuk gubernur jenderal. Karena Bang Pitung merupakan potensi ancaman keamanan dan ketertiban hingga berbagai macam strategi dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati. Pokoknya Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudu dicari dengan status penjahat kelas wahid di Betawi.</b><br />
<b>Bagaimana Belanda tidak gelisah, dalam melakukan aksinya membela rakyat kecil Bang Pitung berdiri di barisan depan. Kala itu Belanda memberlakukan kerja paksa terhadap pribumi termasuk “turun tikus”. Dalam gerakan ini rakyat dikerahkan membasmi tikus di sawah-sawah disamping belasan kerja paksa lainnya. Belum lagi blasting (pajak) yang sangat memberatkan petani oleh para tuan tanah.</b><br />
<b><a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a>, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan <a href="http://dongeng.org/category/cerita-rakyat" title="cerita rakyat">cerita rakyat</a>, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya. Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara Kapolres) van Hinne karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Takut jago silat yang menjadi idola rakyat kecil ini akan menjadi pujaan.</b><br />
<b><a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a>, berdasarkan <a href="http://dongeng.org/category/cerita-rakyat" title="cerita rakyat">cerita rakyat</a> (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, “orang yang denger kate”. Dia juga “terang hati”, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan.</b><br />
<b>Suatu ketika di usia remaja sekitar 16-17 tahun, oleh ayahnya Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong dia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Mulai saat itu, dia tidak berani pulang ke rumah. Dia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipan. Ini sesuai dengan tekadnya tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambing. Dia merasa bersalah kepada orangtuanya. Dengan tekadnya itu, dia makin memperdalam ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat. Ilmu pukulannya bernama aliran syahbandar. Kemudian Pitung melakukan meditasi alias tapa dengan tahapan berpuasa 40 hari. Kemudian melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmunya. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang “menyeramkan” yang pasti akan berhadapan dengan begal.</b><br />
<b>Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut <a href="http://dongeng.org/category/cerita-rakyat" title="cerita rakyat">cerita rakyat</a>, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.</b><br />
<b><a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a> yang mendapat sebutan “Robinhood” Betawi, sekalipun tidak sama dengan “Robinhood” si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris. Akan tetapi, setidaknya keduanya memiliki sifat yang sama: Selalu ingin membantu rakyat tertindas. Meskipun dari hasil rampokan terhadap kompeni dan para tuan tanah yang menindas rakyat kecil.</b><br />
<b>Sejauh ini, tokoh legendaris <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a> dilukiskan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh kuat dan keren, sehingga menimbulkan rasa sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya. Dalam film <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a> yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, ia juga dilukiskan sebagai pemuda yang gagah dan bertubuh kekar. Tapi, menurut Tanu Trh dalam “Intisari” melukiskan berdasarkan penuturan ibunya dari cerita kakeknya, Pitung tidak sebesar dan segagah itu. ”Perawakannya kecil. Tampang <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a> sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan.”</b><br />
<b>Menurut Tanu Trh, ketika berkunjung ke rumah kakeknya berdasarkan penuturan ibunya, Pitung pernah digerebek oleh schout van Hinne. Setelah seluruh isi rumah diperiksa ternyata petinggi polisi Belanda ini tidak menemukan <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a>. Setelah van Hinne pergi, barulah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a> secara tiba-tiba muncul setelah bersembunyi di dapur. Karena belasan kali berhasil meloloskan diri dari incaran Belanda, tidak heran kalau <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/si-pitung.html" title="Si Pitung">Si Pitung</a> diyakini banyak orang memiliki ilmu menghilang. ”Yang pasti,” kata ibu, seperti dituturkan Tanu Trh, ”dengan tubuhnya yang kecil Pitung sangat pandai menyembunyikan diri dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang-orang lain.” Sedang kalau ia dapat membuat dirinya tidak tampak di mata orang, ada yang meyakini karena ia memiliki kesaksian “ilmu rontek”.</b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-26428456170854894402010-12-04T05:54:00.001-08:002010-12-04T05:54:00.063-08:00Asal-usul Lutung kasarungDahulu ada seorang raja yang adil dan bijaksana Prabu Tapa Agung namanya. Beliau dianugrahi tujuh orang putri. Berturut-turut mereka itu adalah Purbararang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan si bungsu Purbasari. Ketujuh putri itu sudah menikah remaja dan semuanya cantik-cantik. Yang paling cantik dan paling manis budinya adalah Purbasari. Ia menjadi buah hati seluruh rakyat Kerajaan Pasir Batang.<span id="more-171"></span> <br />
Putri sulung Purbararang sudah bertunangan dengan Raden Indrajaya, putra salah seorang mentri kerajaan. Kepada Purbararang dan Indrajayalah seharusnya Prabu Tapa Agung dapat mempercayakan kerajaan. Akan tetapi, walaupun beliau sudah lanjut usia dan sudah waktunya turun tahta, beliau belum leluasa untuk menyerahkan mahkota. Karena, baik Purbararang maupun Indrajaya belum dapat beliau percaya sepenuhnya.<br />
Sang Prabu merasa sebagai putri sulung, Perangai Purbararang tidak sesuai dengan yang diharapkan dari seorang pemimpin kerajaan. Purbararang mempunyai sifat angkuh dan kejam, sedangkan Indrajaya adalah seorang pesolek. Bangsawan muda itu akan lebih banyak memikirkan pakaian dan perhiasan dirinya daripada mengurus keamanan dan kesejahteraan rakyat kerajaan.<br />
Menghadapi masalah seperti itu, Prabu Tapa Agung sering bermuram durja. Demikian pula permaisurinya, ibunda ketujuh putri itu. Mereka sering membicarakan masalah itu, tetapi tidak ada jalan keluar yang ditemukan.<br />
Namun, kiranya kerisauan dan kebingungan raja yang baik itu diketahui oleh Sunan Ambu yang bersemayam di kahyangan atau Buana Pada. Pada suatu malam, ketika Prabu Tapa Agung tidur, beliau bermimpi. Di dalam mimpinya itu Sunan Ambu berkata, “Wahai Raja yang baik, janganlah risau. Sudah saatnya kamu beristirahat. Tinggalkanlah istana. Tinggalkanlah tahta kepada putri bungsu Purbasari. Laksanakanlah keinginanmu untuk jadi pertapa.”<br />
Setelah beliau bangun, hilanglah kerisauan beliau. Petunjuk dari khayangan itu benar-benar melegakan hati beliau dan permaisuri.<br />
Keesokan harinya sang Prabu mengumpulkan ketujuh putri beliau, pembantu, penasehat beliau yang setia, yaitu Uwak Batara Lengser, patih, para menteri dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya.<br />
Beliau menyampaikan perintah Sunan Ambu dari Kahyangan bahwa sudah saatnya beliau turun tahta dan menyerahkan kerajaan kepada Putri Purbasari.<br />
Berita itu diterima dengan gembira oleh kebanyakan isi istana, kecuali oeh Purbararang dan Indrajaya. Mereka pura-pura setuju, walaupun didalam hati mereka marah dan mulai mencari akal bagaimana merebut tahta dari Purbasari.<br />
Akal itu segera mereka dapatkan. Sehari setelah ayah bunda mereka tidak berada di istana, Purbararang dengan bantuan Indrajaya menyemburkan boreh, yaitu zat berwara hitam yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan, ke wajah dan badan Purbasari.<br />
Akibatnya Purbasari menjadi hitam kelam dan orang Pasir Batang tidak mengenalinya lagi. Itulah sebabnya putri bungsu itu tidak ada yang menolong ketika diusir dari istana.<br />
Tak ada yang percaya ketika dia mengatakan bahwa ia Purbasari, Ratu Pasir Batang yang baru. Di samping itu, mereka yang tahu dan menduga bahwa gadis hitam kelam itu adalah Purbasari, tidak berani pula menolong.<br />
Mereka takut akan Purbararang yang terkenal kejam. Bahkan Uwak Batara Lengser tidak berdaya mencegah tindakan Purbararang itu.<br />
Ketika ia disuruh membawa Purbasari ke hutan, ia menurut. Akan tetapi setiba di hutan, Uwak Batara Lengser membuatkan gubuk yang kuat bagi putri bungsu itu. Ia pun menasehatinya dengan kata-kata lembut, “Tuan Putri bersabarlah. Jadikanlah pembuangan ini sebagai kesempatan bertapa untuk memohon perlindungan dan kasih sayang para penghuni kahyangan. “Nasehat Uwak Batara Lengser itu mengurangi kesedihan Putri Purbasari. Ia setuju bahwa ia akan melakukan tapa. “Bagus, Tuan Putri. Janganlah khawatir, Uwak akan sering datang kesini menengok dan mengirim persediaan.”<br />
Selagi didunia atau Buana Panca Ttengah terjadi peristiwa pengusiran dan pembuangan Purbasari kedalam hutan, di Kahyangan atau Buana Pada terjadi peristiwa lain.<br />
Berhari-hari Sunan Ambu gelisah karena putranya Guruminda tidak muncul. Maka Sunan Ambu pun meminta para penghuni kahyangan baik pria maupun wanita untuk mencarinya.<br />
Tidak lama kemudian seorang pujangga datang dan memberitakan bahwa Guruminda berada ditaman Kahyangan. Ditambahkan bahwa Guruminda tampak bermuram durja. Sunan Ambu meminta kepada pelayan kahyangan agar Guruminda dipanggil, diminta menghadap.<br />
Agak lama Guruminda tidak memenuhi panggilan itu sehingga ia dipanggil kembali. Akhirnya dia muncul dihadapan ibundanya, Sunan Ambu.<br />
Akan tetapi, ia bertingkah laku lain dari pada biasanya. Ia terus menunduk seakan-akan malu memandang wajah ibunya sendiri. Namun, kalau Sunan Ambu sedang tidak melihat, ia mencuri-curi pandang.<br />
“Guruminda, anakku, apakah yang kau sedihkan?Ceritalah kepada Ibu,” ujar Sunan Ambu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Guruminda tidak menjawab. Demikian pula ketika Sunan Ambu mengulang pertanyaan beliau. Karena Sunan Ambu seorang wanita yang arif, beliau segera menyadari apa yang terjadi dengan putranya.<br />
Beliau berkata, “Ibu sadar, sekarang kau sudah remaja. Usiamu tujuh belas tahun. Adakah bidadari yang menarik hatimu. Katakanlah pada Ibu siapa dia. Nanti Ibu akan memperkenalkanmu kepadanya.” Untuk beberapa lama Guruminda diam saja. “Guruminda, berkatalah, “ujar Sunan Ambu.<br />
Guruminda pun berkata, walaupun perlahan-lahan sekali, “Saya tidak ingin diperkenalkan dengan bidadari manapun, kecuali yang secantik Ibunda,” katanya.<br />
Mendengar perkataan putranya itu Sunan Ambu terkejut. Akan tetapi, sebagai wanita yang arif beliau tidak kehilangan akal apalagi marah. Beliau arif bahwa putranya sedang menghadapi persoalan. Beliau pun berkata, “Guruminda, gadis yang serupa dengan Ibunda tidak ada di Buana Pada ini. Ia berada di Buana Panca Tengah. Pergilah kamu ke sana. Akan tetapi tidak sebagai Guruminda. Kamu harus menyamar sebagai seekor kera atau lutung.”<br />
Setelah Sunan Ambu berkata begitu, berubahlah Guruminda menjadi seekor kera atau lutung. “Pergilah anakku, ke Buana Panca Tengah, kasih sayangku akan selalu bersamamu. Kini namamu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.”<br />
Guruminda sangat terkejut dan sedih ketika menyadari bahwa dia sudah menjadi lutung. Ia beranggapan bahwa ia telah dihukum oleh Ibunda Sunan Ambu karena kelancangannya. Ia cuma menunduk. “Pergilah, Anakku. Gadis, itu menunggu disana dan memerlukan bantuanmu.” ujar Sunan Ambu pula.<br />
Guruminda sadar bahwa menjadi lutung adalah sudah nasibnya dan ia pun mengundurkan diri dari hadapan ibundanya. Dengan harapan akan bertemu gadis yang serupa dengan ibundanya, ia meninggalkan Buana Pada. Ia melompat dari awan ke awan hingga akhirnya tiba di bumi. Guruminda mencari tempat yang cocok untuk turun. Ketika melihat sebuah hutan, ia pun melompat ke bumi. Ia melompat dari pohon ke pohon. Lutung-lutung dan monyet-monyet mengelilinginya. Karena mereka menyadari bahwa Guruminda, yang berganti nama menjadi <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>, lebih besar dan cerdas, mereka menerimanya sebagai pemimpin. Demikianlah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> mengembara di dalam hutan belantara, mencari gadis yang sama cantiknya dengan ibunda Sunan Ambu.<br />
Tersebutlah di kerajaan Pasir Batang, Ratu Purbararang hendak melaksanakan upacara. Dalam upacara itu diperlukan kurban binatang. Ratu Purbararang memanggil Aki Panyumpit. “Aki!” katanya, “Tangkaplah seekor hewan untuk dijadikan kurban dalam upacara. Kalau kamu tidak mendapatkannya nanti siang, kamu sendiri jadi gantinya.”<br />
Dengan ketakutan yang luar biasa Aki Panyumpit tergesa-gesa masuk hutan belantara. Akan tetapi, tidak seekor bajingpun ia temukan. Binatang-binatang sudah diberi tahu oleh <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> agar bersembunyi. Lalu, berjalanlah Aki Panyumpit kian kemari di dalam hutan itu hingga kelelahan.<br />
Ia pun duduk dibawah pohon dan menangis karena putus asa. Pada saat itulah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> turun dari pohon dan duduk dihadapan Aki Panyumpit. Aki Panyumpit segera mengambil sumpitnya dan membidik kearah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
Namun <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> berkata, “Janganlah menyumpit saya karena saya tidak akan mengganggumu. Saya datang kesini karena melihat kakek bersedih.”<br />
Aki Panyumpit terkejut mendengar lutung dapat berbicara. “Mengapa kakek bersedih?” tanya <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
Ditanya demikian, Aki Panyumpit menceritakan apa yang dialaminya. “Kalau begitu bawalah saya ke istana,kakek,” ujar <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
“Tetapi kamu akan dijadikan kurban!” kata Aki Panyumpit yang menyukai <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
“Saya tidak rela kamu dijadikan kurban,” lanjut Aki Pannyumpit.<br />
“Tetapi kalau kakek tidak berhasil membawa hewan, kakek sendiri yang akan disembelih sebagai kurban,” jawab <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
Aki Panyumpit tidak dapat berkata-kata lagi karena bingung.<br />
“Oleh karena itu, bawalah saya ke istana. Janganlah khawatir,” Kata <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
“Baiklah, kalau begitu”, kata Aki Panyumpit. Mereka pun keluar dari hutan menuju kerajaan Pasir Batang.<br />
Setiba di alun-alun kerajaan, beberapa prajurit memegang dan mengikat <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. Prajurit lain mengasah pisau untuk menyembelihnya.<br />
<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> yang sudah di ikat dibawa ketengah alun-alun. Di sana Purbararang dan Indrajaya serta para pembesar kerajaan sudah hadir. Demikian pula lima putri adik-adik Purbararang.<br />
Saat itu segala perlengkapaan upacara sudah disiapkan. Seorang pendeta sudah mulai menyalakan kemenyan dan berdoa. Seorang prajurit dengan pisau yang sangat tajam berjalan akan melaksanakan tugasnya. Ia memegang kepala <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. Akan tetapi, tiba-tiba <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> menggeliat.<br />
Tambang-tambang ijuk yang mengikat tubuhnya satu persatu mulai putus dan kemudian Ia pun bebas. Ia lalu memporak-porandakan perlengkapan upacara. Para putri dan wanita-wanita bangsawan menjerit ketakutan. Para prajurit mencabut senjata dan berusaha membunuh <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. Namun, tidak seorang pun sanggup mendekatinya.<br />
<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> sangat lincah dan tangkas. Ia melompat- lompat kesana kemari, di tengah-tengah hadirin yang berlari menyelamatkan diri.<br />
<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> sengaja merusak barang-barang dan perlengkapan. Di melompat ke panggung tempat para putri menenun dan merusak perlengkapan tenun.<br />
Setelah hadirin melarikan diri dan prajurit-prajurit kelelahan, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> duduk di atas benteng yang mengelilingi halaman dalam istana .<br />
Dari dalam istana, Purbararang dan adik-adiknya memandanginya dengan keheranan dan ketakutan. Indrajaya ada pula disana, ikut sembunyi dengan putri-putri dan para wanita.<br />
Purbararang kemudian menjadi marah, “Bunuh! Ayo bunuh lutung itu!” teriaknya. Beberapa orang prajurit maju akan mengepung <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> lagi. Akan tetapi, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> segera menyerang mereka dan membuat mereka lari ketakutan ke berbagai arah.<br />
Uwak Batara Lengser adalah orang tua yang bijaksana, walaupun sudah tua tetap gagah berani. Ia berjalan menuju <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> dan berdiri di dekatnya. Ternyata, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> tidak memperlihatkan sikap permusuhan kepadanya. “Kemarilah Lutung, janganlah kamu nakal dan menakut-nakuti orang, kamu anak yang baik.”<br />
Pada saat itu beberapa orang prajurit mencoba menyergap <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. Namun, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> selalu waspada. Ia menyerang balik, mencakar, dan menggigit mereka. Mereka tunggang langgang melarikan diri dan tidak berani muncul kembali. Setelah itu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> kembali kepada Uwak Batara Lengser dan seperti seorang anak yang baik, duduk didekat kaki orang tua itu.<br />
Purbararang yang melihat pemandangan itu dari jauh, timbul niat jahatnya. Lutung yang besar dan jahat itu sebaiknya dikirim kehutan tempat Purbasari berada, pikirnya. Kalau Purbasari tewas diterkam lutung itu, maka ia akan tenang menduduki tahta Kerajaan Pasir Batang. Cara mengirim lutung itu tampaknya dapat dilaksanakan melalui Uwak Batara Lengser karena lutung itu tidak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Uwak Batara Lengser.<br />
Berkatalah Purbararang kepada Uwak Batara Lengser, meminta orang tua itu mendekat. Orang tua itu menurut, “Uwak Batara Lengser, singkirkan lutung galak itu kehutan. Tempatkan bersama Purbasari. Kalau sudah jinak, kita kurbankan nanti.” Uwak Batara Lengser tahu maksud Purbararang, tetapi ia menurut saja. Ia pun tidak yakin apakah lutung itu akan mencederai Purbasaari. Ia melihat sesuatu yang aneh pada lutung itu. Itulah sebabnya ia mengulurkan tangan pada lutung itu sambil berkata, “Marilah kita pergi, lutung. Kamu saya bawa ketempat yang lebih cocok bagimu.” Lutung itu menurut. Uwak Batara Lengser pun menuntunnya meninggalkan tempat itu dan menuju ke hutan.<br />
Sampai di hutan, Uwak Batara Lengser berseru kepada Purbasari memberitahukan kedatangannya. Purbasari keluar dari gubuk dengan gembira. <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> melihat seorang gadis yang kulitnya hitam kelam di celup boreh. Ia tertegun sejenak sehingga Uwak Batara Lengser berkata kepadanya, “Itu Putri Purbasari. Ia gadis yang manis dan baik hati. Kamu harus menjaganya.”<br />
“Ya,” kata <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
Uwak Batara Lengser dan Purbasari keheranan. Akan tetapi, Uwak Batara Lengser berkata, “Semoga kedatanganmu ke Pasir Batang dikirim Kahyangan untuk kebaikan semua.”<br />
Setelah Uwak Batara Lengser pergi, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> meminta bantuan kawan-kawannya untuk mengumpulkan buah-buahan dan bunga-bungaan untuk Purbasari. Putri itu benar-benar terhibur dalam kesedihannya. Ia pun tidak kesunyian lagi. Bukan saja <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> selalu ada didekatnya, tetapi binatang-binatang lain seperti rusa, bajing, dan burung-burung berbagai jenis, berkumpul dekat gubuknya.<br />
Ketika malam tiba, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> berdoa, memohon kepada Ibunda Sunan Ambu agar membantunya. Sunan Ambu mendengar doanya dan memerintahkan kepada beberapa orang pujangga dan pohaci agar turun ke bumi untuk membantu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>.<br />
Ketika para pujangga tiba dihutan itu, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> meminta kepada mereka agar dibuatkan tempat mandi bagi Purbasari. Para pujangga yang sakti itu membantu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> membuat jamban salaka, tempat mandi dengan pancuran emas dan lantai serta dinding pualam. Airnya dialirkan dari mata air yang jernih yang ditampung dulu dalam telaga kecil. Ke dalam telaga kecil itu ditaburkan berbagai bunga-bungaan yang wangi. Sementara itu para pohaci menyiapkan pakaian bagi Purbasari. Pakaian itu bahannya dari awan dan warnanya dari pelangi. Tak ada pakaian seindah itu di bumi.<br />
Keesokan harinya Purbasari sangat terkejut melihat Jamban Salaka itu. Akan tetapi, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> mengatakan kapadanya bahwa ia tidak perlu heran. Kabaikan hati Purbasari telah menimbulkan kasih sayang Kahyangan kepadanya.<br />
“Jamban Salaka dan pakaian yang tersedia di dalamnya adalah hadiah dari Buana Pada bagi Tuan Putri,” kata <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a><br />
“Kau sendiri adalah hadiah dari Buana Pada bagiku, Lutung,” kata Purbasari, lalu memasuki Jamban Salaka. Ternyata, air di Jamban Salaka memiliki khasiat yang tidak ada pada air biasa dipergunakan Purbasari.<br />
Ketika air itu dibilaskan, hanyutlah boreh dari kulit Purbasari. Kulitnya yang kuning langsat muncul kembali bahkan lebih cemerlang. Dalam kegembiraannya, Purbasari tidak putus-putusnya mengucapkan syukur kepada Kahyangan yang telah mengasihinya.<br />
Selesai mandi, ia mengambil pakaian buatan para pohaci. Ia terpesona oleh keindahan pakaian yang dilengkapi perhiasan-perhiasan yang indah. Ia pun segera mengenakannya, lalu keluar dari Jamban Salaka. ‘Lutung lihatlah!. Apakah pakaian ini cocok bagiku?”<br />
<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> sendiri terpesona. Dalam hatinya ia berkata, “Putri Purbasari, engkau seperti kembaran Ibunda Sunan Ambu, hanya jauh lebih muda.”<br />
“Lutung, pantaskah pakaian ini bagiku?” tanya Purbasari pula.<br />
“Para pohaci mencocokkannya bagi tuan putri,” jawab <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> seraya bersyukur dalam hatinya dan memuji kebijaksanaan Ibunda Sunan Ambu.<br />
Peristiwa didalam hutan itu akhirnya terdengar oleh Purbararang. Rakyat Kerajaan Pasir Batang yang biasa mencari buah-buahan atau berburu kehutan membawa kabar aneh. Mereka bercerita tentang hutan yang berubah menjadi taman, tentang gubuk gadis hitam yang berubah menjadi istana kecil, tentang tempat mandi yang sangat indah, dan pimpinan seekor lutung yang sangat besar. Seekor lutung besar menyebabkan mereka tidak berani memasuki taman itu.<br />
Kabar aneh itu sampai juga ke telinga Purbararang. Ia menduga ada bangsawan-bangsawan Pasir Batang yang diam-diam membantu Purbasari. Ia pun menjadi marah dan berpikir mencari jalan untuk mencelakakan Purbasari. Ia segera menemukan jalan untuk mecelakakan adik bungsunya itu.<br />
Purbararang berpendapat bahwa para bangsawan Pasir Batang yang berpihak pada Purbasari tidak akan berani membantu adiknya itu secara terang-terangan. Oleh karena itu, Purbasari harus ditantang dalam pertandingan terbuka.<br />
Para bangsawan dapat membuatkan Purbasari taman, istana kecil, dan Jamban Salaka. Itu mereka lakukan sembunyi-sembunyi dalam waktu yang lama, pikir Purbararang. Kalau Purbasari diharuskan membuat huma dalam satu hari seluas lima ratus depa, tak ada yang berani atau dapat membantunya. Ia sendiri dengan mudah akan dapat membuka huma ribuan depa dengan bantuan para prajurit.<br />
Maka ia pun memanggil Uwak Batara Lengser dan berkata, “Uwak, berangkatlah ke hutan. Sampaikan pada Purbasari bahwa saya menantangnya berlomba membuat huma. Purbasari harus membuat huma seluas lima ratus depa dan harus selesai sebelum fajar besok. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, atau tidak dapat mendahului saya maka ia akan dihukum pancung.”<br />
Uwak Batara Lengser segera pergi kehutan. Ia disambut oleh Purbasari dan <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. Ketika mendengar berita yang menakutkan itu, Purbasari pun menangis. ‘Kalau nasib saya harus mati muda, saya rela. Yang menyebabkan saya menangis adalah tindakan kakanda Purbararang. Begitu besarkah kebenciannya kepada saya?”<br />
<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> berkata, “Jangan khawatir Tuan Putri, Kahiangan tidak akan melupakan orang yang tidak bersalah.”<br />
Sementara ketiga sahabat itu sedang berbicara didalam hutan, Purbararang tidak menyia-nyiakan waktu. Ia memanggil seratus orang prajurit dan memerintahkan agar mereka membuka hutan untuk huma didekat tempat tinggal Purbasari. Huma harus selesai keesokan harinya. Kalau tidak selesai, para prajurit itu akan dihukum pancung. Para prajurit yang ketakutan segera berangkat ke hutan dan langsung bekerja keras membuka hutan. Mereka terus bekerja walaupun malam turun dan mulai gelap. Mereka terpaksa menggunakan obor yang banyak jumlahnya.<br />
Sementara itu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> mempersilahkan Purbasari masuk kedalam istana kcilnya untuk beristirahat. “Serahkanlah pekerjaan membuat huma itu kepada saya, Tuan Putri,’ katanya.<br />
Ketika Purbasari sudah masuk kedalam istana kecilnya, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> segera berdoa, memohon bantuan Ibunda Sunan Ambu dari Buana Pada. Doanya didengar dan Sunan Ambu mengutus empat puluh orang pujangga untuk membuat huma. Lahan yang dipilih adalah sebidang huma yag sudah terbuka dan cocok untuk ditanami padi. Huma itu letaknya tidak jauh dari hutan yang sedang dibuka oleh prajurit-prajurit Pasir Batang.<br />
Keesokan harinya ketika matahari terbit, berangkatlah rombongan dari istana Pasir Batang menuju hutan. Purbararang duduk diatas tandu yang dihiasi sutra dan permata yang gemerlapan. Sementara itu tunangannya, Indrajaya, menunggang kuda di sampingnya. Lima orang putri bersaudara ada pula dalam rombongan bersama sejumlah bangsawan. Ratusan prajurit mengawal. Tak ketinggalan seorang algojo dengan kapak besarnya. Purbararang yakin bahwa hari itu ia akan dapat menghukum pancung adiknya, Purbasari. Akan tetapi, ia dan rombongan terkejut sebab disamping huma yang dibuka para prajurit telah ada pula huma lain yang lebih bagus.<br />
Di tengah huma itu berdiri Uwak Batara Lengser dan <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. “Gusti Ratu,” kata Uwak Batara Lengser, “Inilah huma Putri Purbasari.”<br />
Purbararang benar-benar kecewa, malu,dan marah. Ia berteriak, “Baik, tetapi sekarang saya menantang Purbasari bertanding kecantikan denganku. Kalian yang menilai,” katanya seraya berpaling pada khalayak.<br />
Purbararang menyangka Purbasari masih hitam kelam karena boreh. “Uwak, suruh dia keluar dari rumahnya!”<br />
Uwak Batara Lengser mempersilahkan Purbasari keluar dari istana kecilnya. Purbasari muncul dan orang-orang memadangnya dengan takjub. Banyak yang lupa bernapas dan berkedip. Banyak pula yang lupa menutup mulutnya.<br />
Begitu cantiknya Purbasari sehingga seorang bangsawan berkata, “Saya seakan-akan melihat Sunan Ambu turun ke Bumi.”<br />
Melihat hal itu mula-mula Purbararang kecut. Akan tetapi dia ingat, bahwa dia masih punya harapan untuk menang. Ia berteriak, “Purbasari, marilah kita bertanding rambut. Siapa yang lebih panjang, dia menang. Lepas sanggulmu!” Sambil berkata begitu Purbararang berdiri dan melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam dan lebat terurai hingga kepertengahan betisnya.<br />
Purbasari terpaksa menurut. Ia pun melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam berkilat dan halus bagai sutra bergelombang bagaikan <a href="http://dongeng.org/tag/air-terjun" title="air terjun">air terjun</a> hingga ketumitnya. Purbararang terpukul kembali. Akan tetapi, dia tidak kehabisan akal. Ia ingat bahwa ia mempunyai pinggang yang sangat ramping.. Ia berkata, “Lihat semua. Ikat pinggang yang kupakai ini bersisa lima lubang. Kalau Purbasari menyisakan kurang dari lima lubang, ia dihukum pancung.” Seraya berkata begitu ia melepas ikat pinggang emas bertahta permata dan melemparkannya kepada Purbasari. Purbasari memakainya dan ternyata tersisa tujuh lubang<br />
.<br />
Sekarang Purbararang menjadi kalap. Ia berteriak, “Hai orang-orang Pasir Batang, masih ada satu pertandingan yang tidak mungkin dimenangkan oleh Purbasari. Pertandingan apa itu? Coba tebak!” katanya seraya melihat wajah-wajah bangsawan Pasir Batang yang berdiri didekatnya. Ia tertawa karena yakin ia akan menang dalam pertandingan terakhir ini.<br />
“Pertandingan apa, Kakanda?” kata salah seorang di antara adiknya.<br />
Purbararang tersenyum. “Dengarkan!” katanya pula, “Dalam pertandingan ini kalian harus membandingkan siapa di antara calon suami kami yang lebih tampan. Lihat kepada tunangan saya, Indrajaya. Bagaimana pendapat kalian? Tampankah ia?”<br />
Untuk beberapa lama tidak ada yang menjawab. Mereka bingung dan terkejut. Purbararang membentak, “Jawab! Tampankah dia?” Orang-orang menjawab, “Tampan, Gusti Ratu!” Purbararang tidak puas, “Lebih nyaring!”<br />
“Tampan Gusti Ratu!”<br />
Sambil tersenyum Purbararang melihat kearah Purbasari yang berdiri dekat Uwak Batara Lengser dan <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. “Dengarkanlah, Purbasari. Sekarang kamu tidak bisa lolos. Kita akan bertanding membandingkan ketampanan calon suami. Calon suamiku adalah Indrajaya yang tampan dan gagah itu. Siapakah calon suamimu itu?” Purbasari kebingungan. “Siapa lagi calon suamimu kecuali lutung besar itu?” teriak Purbararang seraya menunjuk ke arah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. Lalu ia tertawa.<br />
Purbasari terdiam. Ia memandang ke arah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a>. Semuanya terdiam. Algojo melangkah ke arah Purbasari seraya memutar-mutar kapaknya yang lebar dan tebal. Seraya memandang ke arah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> dan sambil tersenyum sayu Purbasari berkata, “Memang seharusnya kamu menjadi calon suamiku, Lutung.”<br />
Mendengar apa yang diucapkan Purbasari itu gembiralah Purbararang. Sekarang ia dapat membinasakan Purbasari. Akan tetapi, sesuatu terjadi. Mendengar perkataan Purbasari itu, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/lutung-kasarung.html" title="Lutung Kasarung">Lutung Kasarung</a> berubah, kembali ke asalnya sebagai Guruminda yang gagah dan tampan. Semua terheran-heran dan terpesona oleh ketampanan Guruminda. Guruminda sendiri memegang tangan Purbasari dan berkata, “Ratu kalian yang sebenarnya, Purbasari, telah mengatakan bahwa saya sudah seharusnya menjadi calon suaminya. Sebagai calon suaminya, saya harus melindungi dan membantunya. Tahtanya telah direbut oleh Purbararang. Sebagai tunangan Purbararang, Anda harus berada di pihaknya, Indrajaya. Oleh karena itu, marilah kita berperang tanding.”<br />
Indrajaya bukannya siap berperang tanding, tetapi malah berlutut dan menyembah kepada Guruminda, mohon ampun dan dikasihani. Purbararang menangis dan minta maaf kepada Purbasari. Sementara itu para bangsawan dan prajurit serta rakyat justru bergembira. Mereka akan bebas dari ketakutan dan tekanan para pendukung Purbararang.<br />
Pada hari itu juga Ratu purbasari kembali ke Kerajaan didampingi oleh suaminya, Guruminda. Purbararang dan Indrajaya dihukum dan dipekerjakan sebagai tukang sapu di taman istana. Rakyat merasa lega. Mereka kembali bekerja dengan rajin seperti di jaman pemerintahan Prabu Tapa Agung. Berkat bantuan Guruminda, Purbasari memerintah dengan cakap dan sangat bijaksana. Rakyat Kerajaan Pasir Batang merasa terlindungi, suasana aman dan tentram sehingga mereka bisa bekerja dengan tenang pada akhirnya kemakmuran dapat mereka peroleh secara nyata dan merata.Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-70257539755959316282010-12-04T05:51:00.001-08:002010-12-04T05:51:55.224-08:00Asal-usul Danu Toba<b>Pada zaman dahulu di suatu desa di Sumatera Utara hiduplah seorang petani bernama Toba yang menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan lahan pertaniannya untuk keperluan hidupnya.<span id="more-61"></span></b><br />
<b>Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan.</b><br />
<b>Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup lama ia memancing tak seekor iakan pun didapatnya. Kejadian yang seperti itu,tidak pernah dialami sebelumnya. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ketengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, Karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar.</b><br />
<b>Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya, dan tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika meninggalkan sungai untuk pulang kerumahnya hari sudah mulai senja.</b><br />
<b>Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur.</b><br />
<b>Pada saat lelaki itu tiba di dapur, dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di tempat ikan itu tadi diletakkan tampak terhampar beberapa keping uang emas. Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, dia meninggalkan dapur dan masuk kekamar.</b><br />
<b>Ketika lelaki itu membuka pintu kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena didalam kamar itu berdiri seorang perempuan dengan rambut yang panjang terurai. Perempuan itu sedang menyisir rambutnya sambil berdiri menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar. Sesaat kemudian perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan memandang lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar. Lelaki itu menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri dihadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat wanita secantik itu meskipun dahulu dia sudah jauh mengembara ke berbagai negeri.</b><br />
<b>Karena hari sudah malam, perempuan itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia diajak perempuan itu menemaninya kedapur karena dia hendak memasak nasi untuk mereka. Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari ikan besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya. Setelah beberapa minggu perempuan itu menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal usul istrinya myang menjelma dari ikan. Setelah lelaki itu bersumpah demikian, kawinlah mereka.</b><br />
<b>Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Samosir. Anak itu sngat dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan pemalas.</b><br />
<b>Setelah cukup besar, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksa ibunya yang mengantarkan nasi ke ladang.</b><br />
<b>Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. Mulanya dia menolak. Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesl pergilah ia mengantarkan nasi itu. Di tengah jalan, sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar dari nasinya itu. Kesabaran si ayah jadi hilang dan dia pukul anaknya sambil mengatakan: “Anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”</b><br />
<b>Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya di ceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya.</b><br />
<b>Ketika tampak oleh sang ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit , dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka itu. Ketika dia tiba di tepi sungai itu kilat menyambar disertai bunyi guruh yang megelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak Toba tak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar yang di kemudian hari dinamakan orang Danau Toba. Sedang Pulau kecil di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir.</b>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-64847506886488532742010-12-04T05:47:00.000-08:002010-12-04T05:47:32.410-08:00Cerita Rakyat Malin Kundang<b><a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> adalah <a href="http://dongeng.org/category/cerita-rakyat" title="cerita rakyat">cerita rakyat</a> yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a>.<span id="more-15"></span></b><br />
<b>Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.</b><br />
<b>Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.</b><br />
<b>Awalnya Ibu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.</b><br />
<b>Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.</b><br />
<b><a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.</b><br />
<b>Berita <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a>. Ibu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.</b><br />
<b>Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> beserta istrinya.</b><br />
<b>Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a>. “<a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a>, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a>. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.</b><br />
<b>Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”.</b><br />
<b>Tidak berapa lama kemudian <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a>. Setelah itu tubuh <a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a><a href="http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/malin-kundang-si-anak-durhaka.html" title="Malin Kundang">Malin Kundang</a> masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.</b> perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini BatuHackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1212102433252787578.post-13510128294100612072010-12-04T05:44:00.000-08:002010-12-04T05:44:43.699-08:00Cerita rakyat Sangkuriang<b><span><span style="background-color: lime;"><span style="background-color: #e69138;"></span></span></span></b><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.</span></b> <div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><span style="font-family: Times New Roman;">Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.<span> </span></span></span></span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.</span></b></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><br />
</div><div align="justify" class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><b><span style="color: black; font-family: Times New Roman; font-size: small;">Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu. </span></b></div>Hackerhttp://www.blogger.com/profile/09618543862490015615noreply@blogger.com0